Biasakan yang Benar Mulai dari Rumah
KOMISI Pemberantasan Korupsi Slot Qris 5 Ribu gencar mengampanyekan slogan Biasakan yang Benar (BYB) dan Jangan Benarkan yang Biasa secara masif di berbagai media, termasuk merilis lagu berjudul sama. Mengapa slogan ini begitu penting bagi KPK?
Dalam sosiologi, kita mengenal teori Interaksionisme Simbolik yang dikemukakan oleh Herbert A. Blumer, George Herbert Mead, dan Max Weber. Menurut teori ini, individu dalam bertindak cenderung berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada dirinya atau apa yang diyakini, bukan semata-mata atas dasar pertimbangan objektif.
Oleh karenanya, jika sebuah perilaku yang ditiru itu, sebetulnya, keliru dan dilakukan terus-menerus, maka lambat laun perilaku itu dapat diyakini sebagai “suatu hal yang biasa” dan “boleh dilakukan”. Akhirnya, seolah-olah hal itu menjadi suatu kebenaran. Bayangkan, suatu kebenaran di masyarakat dinilai berdasarkan subjektivitas yang “diciptakan” oleh individu atas interaksinya dengan lingkungan.
Jika hal tersebut dibiarkan begitu terus-menerus, maka “hal yang benar” kian tersisih dan dianggap aneh. Mengapa? Karena hal yang benar tadi dianggap menyelisihi pendapat mayoritas—padahal “kebiasaan” orang banyak itu bisa saja keliru. Ini berbahaya.
Maka, benar apa yang disampaikan mantan Jaksa Agung Baharuddin Lopa suatu kali, “Banyak yang salah jalan, tetapi merasa tenang karena banyak teman yang sama-sama salah, beranilah menjadi benar meskipun sendirian.”
Jika kita berangkat dari pemahaman bahwa madrasah pertama bagi seseorang adalah ber keluarga, maka orangtua memegang peranan penting dalam kematangan etika seseorang.
Seorang anak seringkali mencontoh apa yang dilakukan orangtua, bahkan lebih dari sekadar apa yang diperintahkan atau diajarkan baik lisan maupun tulisan. Untuk itu, role model sangat memegang peran penting dibandingkan kata-kata.
Ambil contoh, seringkali di kala kumpul keluarga di hari raya keagamaan, justru orangtua yang menanyakan hadiah anak-anak mereka kepada kerabat. Jika hal ini dijadikan kebiasaan, sang anak dapat memiliki kecenderungan atau menganggap perilaku “meminta” itu “kebiasaan yang boleh-boleh saja dan dibenarkan.”
Contoh lain, jika ada penagih utang datang ke rumah, lalu anak-anaknya diminta bilang: “ayah/ibu tidak di rumah”, maka anak-anak akan menyangka berbohong adalah hal yang biasa saja dan diperlukan pada saat menghindar dari kewajiban atau utang.
Tak jarang pula orangtua menyuruh anak belanja ke warung, tapi mereka tidak menanyakan uang kembalian kepada anak. Sayangnya, tanpa ada kesepakatan sebelumnya atau sesudahnya dengan orangtua, anak beranggapan uang kembalian tadi boleh dimiliki.
Bila anak-anak tumbuh dengan pemahaman: uang kembalian boleh dimiliki dan menjadi hak dia tanpa perlu izin atau bertanya lagi—dengan alasan “sudah biasa dilakukan dan dibenarkan selama ini oleh orangtua”, maka ketika tumbuh besar baik di sekolah/kampu maupun tempat kerja, “kebiasaan mengambil uang sisa kegiatan atau melebih-lebihkan anggaran program kegiatan agar dapat sisa kelebihan” menjadi hal yang biasa.
Kebiasaan lain di rumah tangga yang juga perlu menjadi perhatian orangtua ialah “kebiasaan membiarkan anak mengambil sesuatu yang bukan miliknya”. Contoh, ada uang tergeletak di meja keluarga. Karena dirasa receh dan masih berada di lingkup keluarga, kita lalu berpikiran “boleh-boleh saja mengambilnya tanpa izin terlebih dulu”.
Atau, sang adik ketika hendak ke sekolah melihat tas abangnya tergeletak tidak dipakai, langsung meraih dan membawa ke sekolah tanpa izin. Padahal, bisa saja, uang receh dan tas yang seolah-olah tidak terpakai memang akan dibawa.
Kebiasaan seperti itu bisa menular saat berada luar rumah, misalnya saat menemukan barang berharga tanpa pemilik. Orang yang terbiasa mengambil tanpa izin di rumah cenderung mudah mengambilnya. Bahkan, tanpa rasa bersalah, individu tersebut ingin memilikinya, meski tahu barang itu bukan haknya.
Keluarga mengambil peranan penting dalam membiasakan nilai-nilai yang benar sejak kecil. Jangan jadikan keluarga sebagai madrasah pertama anak-anak untuk “membenarkan nilai-nilai yang salah”, yang lambat laun, justru membentuk karakter mereka menjadi pribadi permisif, bahkan koruptif!